Sabtu, 07 Februari 2009

Menjadikan Aktor (Bukan) Segala-galanya

OLEH Nasrul Azwar

“Tugas kita ditunggu, tugas Dogot menunggu. Itu saja. Perut itu kan urusanmu.”

“Apa urusanmu cuma otak, tak pakai perut? Apa Dogot, saudaramu itu tak punya perut tapi punya otak? Begitu? Kau saudaranya ‘kan? Seperti halnya tukang tiup peluit, tukang jual tiket dan tukang gali selokan. Dogot itu saudaramu ‘kan? Kalau bukan mengapa kau tutup-tutupi?...”

Sepenggal teks di atas tampak biasa-biasa saja. Tak ada yang ganjil. Sama halnya dengan teks tulisan ini. Akan tetapi, ia terasa sangat berbeda ketika roh lakon ditiupkan ke dalamnya. Ia berdaging dan bernyawa. Demikianlah teater. Demikianlah peristiwa teater dibangun dari teks yang “mati” menjadi “hidup” di atas panggung. Dan inilah yang membedakan secara signifikans antara teks sastra dangan teks teater.

Pilihan teks sastra berupa cerpen yang diproyeksikan menjadi teks teater yang dilakukan komunitas seni Hitam Putih Padangpanjang dengan sutradara Kurniasih Zaitun, memang memperlihatkan semacam antiesensialisme. “Ditunggu Dogot” semula berupa cerpen karya Sapardi Djoko Damono, yang pada 1 Juli 2006 di Teater Tertutup Taman Budaya Sumatra Barat diaudivisualkan seperti mempertegas ruang relasi antarsutradara, pengarang, pelakon, dan penonton. Pada malam itu berlangsung apa yang disebut diaspora dan brikolase teater. “Ditunggu Dogot” dalam tataran yang positif berhasil penata ulang dan memadukan objek-objek penanda yang sebelumnya—taruhlah tidak saling terkait—untuk menghasilkan makna-makna baru dalam konteks yang baru.

Intertekstualitas dengan pengertian akumulasi dan penciptaan makna lintas teks di mana semua makna saling tergantung pada makna yang lain. Pengutipan secara sadar suatu teks pada teks lain sebagai ekspresi dan kesadaran kutural yang makin besar. Paling tidak, teks sama yang terkoneksi dalam satu kerangka tafsir yang memberi dan membuka luas demokratisasi dalam menjelajah teks. Posisi sutradara dengan segenap pendukungnya telah berhasil mengompilasikan berbagai elemen yang pantas dihadirkan di atas pentas. Maka, dengan demikian, pertunjukan teater “Ditunggu Dogot” tidak menjelma seperti kutbah yang menyebalkan, yang kerap dilakukan oleh banyak kelompok teater di Kota Padang selama ini.

Proses Sungguh-sungguh

Cerpen “Ditunggu Dogot” karya Sapardi Djoko Damono yang diadaptasi menjadi karya teater di atas panggung, memang tidak serta merta melepaskan dirinya demikian saja dengan teks yang telah terbentuk dalam ingatan publik. Paling tidak, referensi pertama muncul dari memori publik adalah “Menunggu Godot” karya Samuel Becket. Relasi teks yang terbangun dengan sendirinya, selanjutnya menemukan “pembenaran” saat persoalan absurdisme kehidupan manusia menjadi perkara penting dalam teks pertunjukan “Ditunggu Dogot”.

Pada batas ini, barangkali apa yang disebut dengan intertekstualitas menemukan legitimasinya. Sapardi Djoko Damono sebagai pengarang “Ditunggu Dogot” dan Kurniasih Zaitun sebagai sutradara menempatkan kode kuktural sebagai pintu masuk demi menjelajah ruang-ruang, konteks, dan narasi kanaifan manusia itu sendiri.

Sudah menjadi catatan tersendiri, bahwa karya Samuel Beckett menginspirasi setidaknya 100 buku dan ribuan karya di muka bumi ini, serta karya-karyanya menjadi bahan studi yang tak habis-habisnya. Bukan hanya “Manunggu Godot”, juga karya lainnya seperti “Endgame” menjadi master drama Becket. Memang, yang terpilih sebagai karya pemenang Nobel Sastra adalah “Menunggu Godot” pada tahun 1969.

Sejauh ini, akhirnya memang untuk mementaskan sebuah lakon, berarti menafsir pula naskah tersebut. Tafsir yang dilakukan Kurniasih Zaitun terhadap “Ditunggu Dogot” pantas diapresiasi positif. Hal demikian terlihat dari gaya dan titik-titik kelekatan berupa investasi emosional yang bersifat kontingen (kesementaraan), dan dituangkan dalam fantasi yang secara parsial menyatukan berbagai wacana dan kekuatan psikis lakon. Pelakon yang disebut “Laki-laki” dan “Perempuan” merupakan identitas kesementaraan manusia yang mencoba mengonstruksi narasi-narasi diri yang kian keropos kepercayaan subjektivitasnya. Dua identitas ini menjadi fokus cerita untuk membangun konflik, dan juga efek visual.

Jika pada naskah “Menunggu Godot” dialog lakon menjadi perdebatan filosofis yang panjang, dan jika tak sabar memang sangat melelahkan, maka pada naskah “Ditunggu Dogot” lebih menekankan pada aktualisasai kondisi kekinian, dan bukan perdebatan filosofis. Maka, konsekuensi garapan dan kehadiran properti di atas panggung menjadi sangat penting.

Cerita “Ditunggu Dogot” diawali seorang lelaki dan perempuan memacu sepedanya untuk menemui Dogot. Karena kedua mereka sedang ditunggu Dogot. Dogot memberi syarat bahwa kepada kedua orang ini untuk tidak boleh terlambat dan juga tak boleh terlalu cepat, harus tepat waktu. Persoalan muncul saat mengayuh sepeda itu: jika terlalu kencang atau lambat menjadi perkara ditujuan. Sesuai perjanjian, mereka harus tepat waktu. Pertengkaran tak bisa dihindarkan, dan juga gugatan menyangkut identitas Dogot yang sedang menunggu. Tapi di dalam pertengkaran itu juga muncul kemesraan dan rasa romantis kedua anak manusia ini. Naluri paling purba bagi manusia lain jenis pun muncul, yaitu seks. Dan apa dan siapa sesungguhnya Dogot yang sedang menunggu mereka, akhirnya memang menjadi identitas jamak dan juga identitas kultural. Tapi manusia sangat mendambakan identitas seperti Dogot.

Tokoh “Perempuan” yang diperankan Ika Trisnawati malam itu memang menghidupkan imaji tentang “perempuan” yang sesungguhnya. Akting yang tidak nyinyir dan terkesan natural mampu mengimbangi “Laki-laki” yang dilakonkan Ashadi. Dari kedua lakon inilah cerita dieksplorasi, didedahkan, lalu dibangun dengan stabilisasi permainan yang tetap berada dalam frame yang tidak terlihat adanya pengulangan-pengulangan seperti banyak dilakukan kelompok-kelompok teater di daerah ini. Sehingga, tontonan jadi menarik, komunikatif, efektif, dan mencengangkan. Estimasi pertunjukan tak lebih 40 menit membuat penonton terpesona di kursinya. Bagi saya, mengatur tempo permainan, menggunakan seefesien mungkin waktu, dan juga kemampuan memungsionalisasikan properti, adalah sesuatu keniscayaan bagi pertunjukan teater. Dan itu telah dilakukan oleh komunitas seni Hitam-Putih Padangpanjang.

Selain itu, satu hal yang membuat pertunjukan “Ditunggu Dogot” agak beda dengan pertunjukan teater lainnya di Sumatra Barat adalah telah muncul kesadaran tentang fungsi dan manfaat teknologi serta kemampuan menyinergikannya dengan kebutuhan pertunjukan. Kahadiran layar di dinding pentas dengan menayangkan gambar-gambar yang terkoneksi dengan aktivitas dan peristiwa yang dibangun kedua aktor itu, jelas mempertegas efek-efek yang dicapai. Juga, menghadirkan panggung yang bergerak, terasa memperlengkap keutuhan pertunjukan itu.

Capaian menuju ke arah demikian itu, bagi saya bukan perkara gampang, dan juga bukan soal yang menyangkut berteater tersebab adanya undangan dari pihak lain, lalu beramai-ramai main teater. Paling tidak, ada kesesungguhan di dalamnya. Ada proses dan pencarian bentuk ungkap panggung yang inovatif. Kerja dan aktivitas teater seperti ini memang tidak pernah diributkan orang. Komunitas seni Hitam-Putih mungkin satu dari sekian banyak komunitas teater yang bergerak dengan partisipasi dan ketegaran dalam mencari dan terus mengasah kamampuan serta sensitivitas pikiran dan perasaan. Mereka berjalan dalam identitas dan militansinya.

Maka, apa yang pernah ditulis Peter Brook, pada batas demikian menjadi sangat benar: Teater harus merefleksikan keterkaitan yang khas dari tanda kehidupan. Perbedaan yang memisahkan antara kebenaran dan realitas bukanlah pada tingkat perbedaannya, namun pada persamaannya yang dapat dibaca melalui kumpulan pemikiran yang berhati-hati.

“Ditunggu Dogot” membuka ruang interpretasi yang luas dan kontekstual, namun secara historis, ia menjadi ahistoris. Keterkaitan dan relevansinya dengan kehidupan sosial diimplementasikan dalam aktualisasi tema, dan content. Dialog dan konflik yang dikedepankan memungkinkan untuk mencapai penyatuan artikulasi dan determinasi logika dalam ranah ruang dan waktu. Namun, karena studi yang kurang mendalam tentang absurdisme, eksistensialisme, dan psikologi Freud, maka pertunjukan “Ditunggu Dogot” kurang berhasil pada tingkat eksplorasi kejiwaan. Tokoh-tokoh bermain masih dalam subjektivitas-ego, kelonggaran karakter terbaca dengan jelas, dan detil-detil karakter masing-masing belum tergarap. Tapi, satu hal yang sangat terjaga adalah tempo permainan yang stabil, dan pencapaian alur cerita yang tepat.

Demikianlah “Ditunggu Dogot”. Ia akan mengemasi dirinya sendiri dengan tawaran-tawaran partisipatif dan imajinatifnya kepada publik, dan sesungguhnya teater bukan sekadar aktor yang menjadi properti yang dilukis sutradara di atas pentas, aktor adalah “pencipta” di atas panggung. ***

Lakon "Menunggu" Dipentaskan


Sebelum tampil di Teater Utan Kayu Jakarta, Komunitas Seni Hitam Putih dari Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Padangpanjang, Sumbar, akan mementaskan lakon Menunggu karya/sutradara Yusril, Sabtu (15/1), di Gedung Teater Utama Taman Budaya Propinsi Sumbar.

Sutradara Yusril mengatakan, didukung 12 pemain dan penata musik Darminta dan Asranul Fitri, Komunitas Seni Hitam Putih mencoba menawarkan konsep teater semiotik, bergerak di sudut-sudut pencarian yang orijinal. "Labirin teater yang selama ini menutup pluralisme, hadir dalam getar-getar seni pertunjukan," katanya, Senin di Padang.

Sejak berdiri empat tahun lalu, Komunitas Seni Teater Hitam Putih-sebelumnya bernama Teater Plus-telah mementaskan Hamba-Hamba, Rumah Berpintu Lima, Interne, Pledoi, Raker (Ranting-ranting Kering), Plasenta, Kronis, Menunggu, dan Kolaborasi Cindua Mato. Semuanya karya/Sutradara Yusril. Lakon-lakon tersebut dipentaskan di Balai Dang Merdu Pekanbaru, Taman Budaya Sumbar, INS Kayutanam, STSI Padangpanjang, Taman Budaya Jambi, Taman Budaya Bengkulu, dan dalam acara BKS PTN Seni di Yogyakarta. Selain itu mereka juga mementaskan Perguruan karya Wisran Hadi di Taman Ismail Marzuki Jakarta dan Ring karya Wisran Hadi di Taman Budaya Sumbar di Padang.***

Yurnaldi, Kompas, Rabu, 12 Januari 2000

Absurdisme Delire A Deux, oleh Sahrul N

Kesan pertama yang menonjol setelah menonton teater Delire A Deux (Kura-Kura dan Bekicot) karya Ionesco, saduran Darnoto, sutradara Kurniasih Zaitun, di gedung pertunjukan Boestanul Arifin Adam STSI Padangpanjang, pada tanggal 15 April 2005 adalah suara-suara perang (bom, rentetan bunyi senapan, dan bentakan orang-orang di belakang panggung). Suara tersebut seakan memecah kebekuan kalimat absurd yang dilontarkan tokoh Lelaki (Jamal) dan tokoh Perempuan (Ayu) yang masing-masing memiliki kebenaran dan kesalahan sendiri-sendiri. Tidak ada yang salah di antara keduanya dan tidak ada yang benar di antara keduanya, dan juga tidak ada penyelesaian. Semua masalah berseliweran satu sama lain menjadi ikon-ikon persoalan tanpa kesimpulan. Kesimpulan merupakan hak sepenuhnya dari penonton yang menyaksikan. Hal ini merupakan ciri dari teater absurd Ionesco, Samuel Becket, Albert Camus, Sartre, dan lain-lain. Tidak ada yang digurui dan tidak ada yang menggurui. Penonton merupakan penikmat aktif dari peristiwa-peristiwa yang hadir di atas panggung.

Peristiwa dimulai dengan bunyi bom dan rentetan senapan mesin yang keluar dari keyboard yang diolah Darminta lewat sound syestem yang berkekuatan tinggi. Dua tokoh (Lelaki dan Perempuan) yang berprilaku kura-kura dan bekicot mulai menggeliatkan badannya merespon bunyi tersebut. Keduanya seperti tertekan oleh kondisi perang yang hadir dalam ruang-ruang ketakutan. Saat bunyi peperangan menghilang keduanya selalu bertengkar tentang kebenaran masing-masing. Hanya suara bom dan rentetetan senapan mesin yang menyatukan mereka dalam ketakutan. Lalu bertengkar lagi, menyatu lagi dalam ketakutan, bertengkar lagi, begitu seterusnya tanpa ada yang terselesaikan.

Pertunjukan yang berdurasi sekitar 70 menit ini mencoba memberdayakan ikon-ikon dari properti yang digunakan. Baskon dan tutup nasi dimultifungsikan semaksimal mungkin membentuk makna-makna tertentu. Ketika makna satu muncul dari properti yang digunakan kemudian dihancurkan oleh makna-makna lain. Penghancuran ikon ini merupakan gejala dekonstruktif yang menjadi ciri dari pertunjukan ini. Untuk bisa menuju pada penghancuran ikon, kedua tokoh harus memaksimalkan pola akting dengan konsep atraktif dari Mayerhold. Ini bisa dilihat dari brosur yang diberikan kepada penonton bahwa seorang aktor harus bisa melakukan kegiatan di atas pentas yang berbeda dengan kegitatan sehari-hari. Teatrikalisme merupakan kehidupan distilisasi (digayakan) dan bahkan dirusak (didistorsi) untuk tujuan-tujuan teater.

Keinginan dari naskah Ionesco adalah persoalan ketegangan pikiran yang mengacu pada absurdisme. Lakon absurd diistilahkan oleh Esslin (dikutip dari Bakdi Soemanto) sebagai pure theatre yang ciri-ciri aktingnya seperti yang terdapat dalam pertunjukan sirkus, akrobat, dan sebagainya. Gerakan pemain dalam pertunjukan absurd tidak mempunyai makna, walaupun mempunyai fungsi tertentu. Gerakan mereka berbeda dengan gerakan penari yang merupakan simbol-simbol. Dengan kata lain, gerakan itu tidak mempunyai acuan di luar gerakan itu sendiri. Akan tetapi dalam pertunjukan ini ada sedikit penyimpangan dalam mengolah gerak para tokoh dari gerak yang diinginkan absurdisme. Gerak terlalu tertata (rapi) bahkan hampir menyerupai gerak tari kontemporer, terutama gerak dari tokoh Perempuan.

Ionesco seperti yang dikutip oleh Styan pernah mengatakan bahwa dalam lakon absurd, tokoh-tokohnya tampil sebagai characters without character. Tokoh tanpa watak yang sebenarnya suatu wujud transformasi dari peristiwa sehari-hari yang tidak banyak disadari orang. Banyak kalimat-kalimat konyol yang dilontarkan oleh kedua tokoh yang menurut pemikiran logis tidak akan pernah diucapkan oleh manusia seperti apa adanya. Kalimat-kalimat tersebut hanya diucapkan oleh manusia sakit (gila) atau manusia yang tidak menyadari bahwa dirinya manusia (hilang kesadaran).

Absurdisme Delire A Deux karya Ionesco berkaitan erat dengan pandangan filsafat eksistensialisme yang mengajarkan bahwa yang paling nyata dan konkret hanyalah eksistensi yang bersifat individual atau hanya yang pernah dialami yang bisa disebut kenyataan. Kedua tokoh (Lelaki dan Perempuan) berada dalam suatu ruang (space) dimana lokasi fisik atau raga berada disuatu tempat diantara lokasi perang dua kelompok yang bertikai. Mereka tidak bisa keluar dari kenyataan tersebut. Gambaran peperangan kedua kelompok yang bertikai seperti gambaran kedua tokoh yang selalu bertengkar. Anehnya adalah ketika suara bom dan rentetan senapan yang menandakan peperangan kedua kelompok saat itu pula kedua tokoh menyatu. Sedangkan saat bunyi peperangan hilang saat itu pula pertengkaran kedua tokoh semakin menjadi. Di sini terlihat bahwa tidak akan pernah hidup itu damai. Perang bisa membuat meraka menyatu dalam ketakutan, akan tetapi pada saat kedamaian muncul, muncul pertengkaran keluarga. Lalu kapan ada kedamaian? Menurut pemikiran absurd kedamaian tidak akan pernah terjadi.

Ketidakberdayaan kedua tokoh merupakan ciri lakon absurd. Banyaknya percobaan nuklir, perang terus menerus, pembunuhan massal akibat perang dunia yang disaksikan oleh Ionesco yang lahir tahun 1912 menjadi inspirasi kreatif. Manusia berhadapan dengan tindakan-tindakan mengerikan tanpa bisa keluar dari kenyataan tersebut. Permenungan Ionesco tentang kehadiran manusia merupakan reaksi dari kondisi manusia itu sendiri yang nyata, tidak hanya lewat spekulasi pikiran.

Alur bagi lakon Delire A Deux tidak begitu penting, yang penting adalah masalah atau peristiwa-peristiwa yang diulang-ulang. Pengulangan tanpa makna seperti yang ditulis Albert Camus dalam The Myth of Sisyphus juga merupakan ciri lakon absurd. Hal ini sangat berbeda dengan lakon-lakon lain seperti realisme dan sebagainya.***

FILM SEBAGAI MEDIA PENCITRAAN DAERAH

Oleh

Emeraldy Chatra

Film telah membuat citra seniman daerah sebagai orang-orang tolol di dunia film, dan membuat citra sineas Jakarta serba lebih hebat.

Ketika kita menonton film-film buatan Bollywood yang muncul ke hadapan kita adalah wajah India, bukan wajah Mumbay atau New Delhi. Begitu juga ketika kita menonton film-film produksi Hollywood (Amerika Serikat), yang kita lihat adalah wajah negara Paman Sam itu, bukan wajah Los Angeles atau Washington. Tapi ketika kita menonton film-film buatan Indonesia yang terlihat adalah wajah Jakarta dan sekitarnya (Bogor atau Bandung), mulai dari yang sangat glamor dan berkelimpahmewahan sampai pada suasana perkampungan yang paling jorok.

Terpusatnya industri film di Jakarta menyebabkan film Indonesia didominasi oleh film-film yang menjadikan kehidupan metropolitan sebagai setting cerita. Wajah Jakarta dan sekitarnya jauh lebih tampak dibandingkan wajah daerah-daerah lain di luar daerah tsb. Wajah Jakarta itulah yang dipaksakan sebagai wajah Indonesia, seolah-olah Indonesia merupakan sebuah negara kota yang sangat urban. Padahal, Indonesia bukanlah Jakarta plus Bogor plus Bandung. Lebih kurang 80% rakyat Indonesia hidup di luar Jakarta, di daerah-daerah perdesaan yang kebanyakan masih mempertahankan tradisinya yang eksotis. Dengan kondisi seperti itu film kita lebih tepat dikatakan film Jakarta daripada film nasional.

Tampaknya, daerah-daerah di luar Jakarta, terutama Sumatra, Kalimantan, Sulawesi atau Papua tidak dianggap memberi nilai tambah kepada film oleh para industrialis maupun seniman film yang hampir seluruhnya berdomisili di Jakarta. Agaknya mereka berpikir, jika bisa membuat film yang menguntungkan di Jakarta atau kota-kota di sekitarnya, mengapa harus repot-repot datang ke kota-kota atau nagari-nagari di Sumatera Barat atau paserah di Sumatera Selatan? Mengapa pula harus membuang uang banyak untuk datang ke Papua, sementara filmnya belum tentu laris di pasar?

Alasan seperti itu tentu sangat logis, karena film adalah produk industri padat modal yang rentan rugi. Lagi pula, kebanyakan rakyat Indonesia tidak pernah mempersoalkan dimana sebuah film dibuat. Mereka tidak pernah memprotes mengapa industri film sejak dulu hanya di Jakarta, tidak pernah tampak tanda-tanda akan bergerak ke luar Jakarta. Tidak banyak yang membandingkan industri film India yang tidak berpusat di New Delhi, tapi di Mumbay, atau industri film Amerika Serikat tidak di Washington, tapi di Los Angeles.

Tak ayal, pemusatan industri film di Jakarta menimbulkan mitos dan anggapan bahwa yang bisa membuat film hanya orang Jakarta. Orang-orang daerah tidak sepandai orang Jakarta; kalau membuat film tanpa bantuan orang Jakarta pasti jelek, pengusaha daerah tidak mengerti film, artis daerah tidak ada yang berbakat, dan sebagainya.

Sebagian anggapan itu tidak salah. Di Jakarta ada IKJ (Institut Kesenian Jakarta) yang mengajarkan bagaimana membuat film dan telah menghasilkan sineas-sineas terkemuka. Mereka umumnya mencari hidup di Jakarta setelah menamatkan pendidikan. Sebagian memang kembali ke daerah dan tak pernah menjadi sineas terkemuka di tingkat nasional.

Di samping itu, di Jakarta juga jauh lebih mudah mendapatkan dana untuk memproduksi film, penyewaan peralatan tersedia, studio-studio canggih juga ada. Semua itu, harus jujur diakui, sukar diperoleh di daerah. Berbagai kesulitan yang dihadapi seniman daerah dalam usaha mereka menghadirkan film yang layak tonton akhirnya membangun citra bahwa di daerah hanya ada penonton, tidak ada seniman yang mampu membuat film.

Pertanyaan kita, sampai kapan masyarakat daerah melulu harus menjadi konsumen film-film Jakarta? Kapan citra ‘tidak melek film’ yang melekat pada seniman daerah berubah menjadi ‘melek film’? Kapan berbagai kearifan lokal yang masih subur di Sumatera, Kalimantan atau Sulawesi dapat dihadirkan oleh sineas daerah untuk dikonsumsi oleh orang-orang Jakarta? Atau, secara ekonomis, kapan orang daerah dapat menyedot uang orang Jakarta dari industri film mereka setelah sejak dulu kala hanya menyetor uang – dengan menonton -- kepada industri film Jakarta?

Dalam penilaian saya, dunia film bukanlah dunia yang tidak dapat dijangkau oleh para seniman daerah. Seniman daerah tidak perlu merasa rendah diri berhadapan dengan seniman Jakarta yang dibesarkan oleh fasilitas, tapi nyatanya juga tidak terlalu hebat dibandingkan seniman film India, Hongkong, apalagi Amerika Serikat. Toh karya-karya film-maker Jakarta hingga hari ini tetap tidak dikenal di dunia internasional, kendati satu dua sudah mendapatkan penghargaan di festival Cannes. Singkatnya, sineas Jakarta belum naik ke langit ke tujuh sehingga tidak dapat lagi dikejar oleh para seniman daerah. Mereka masih satu dua langkah saja di depan.

Justru dalam pikiran saya seniman daerah dapat menjadi lebih tegar, tidak manja dan dinamis mengingat demikian besarnya tantangan untuk berkarya. Berbagai kesulitan yang tidak dialami sineas Jakarta, tapi umum dialami oleh seniman lokal, dapat menjadi sumber inspirasi untuk membangun strategi berkarya yang lebih baik atau lebih efisien. Yang penting, jangan pernah ada istilah patah semangat, karena itu merupakan virus pembunuh utama bagi kegiatan kesenian apapun.

Apakah Orang Sumatera Barat bisa Bikin Film?

Hanya orang-orang yang tidak tahu sejarah yang akan mempertanyakan kemampuan orang Sumatera Barat membuat film. Baru saja Indonesia merdeka, orang Sumatera Barat sudah muncul sebagai tokoh-tokoh legendaris di dunia film. Mereka adalah Anjar Asmara, Usmar Ismail, Djamaludin Malik, Dr Abu Hanifah, dan Drs. Asrul Sani. Tokoh lain yang berasal dari Sumatra Barat adalah Roestam St. Palindih dan Dr Adnan Kapau Gani. Namun malangnya mereka kemudian lebih dikenal sebagai orang Jakarta, dan nama mereka tidak banyak dikenal di Sumatera Barat. Semangat mereka juga tidak menular ke dada seniman daerah yang terperangkap oleh mitos rendah diri karena tinggal jauh dari pusat kekuasaan.

Kini usaha-usaha seniman Sumatera Barat untuk mengikuti jejak pendahulu mereka di dunia film tanpa harus hijrah ke Jakarta sudah mulai menggeliat. Hal ini muncul sejalan dengan makin murahnya peralatan produksi seperti kamera dan komputer editing. Paling tidak seniman daerah Sumatera Barat sudah menghasilkan sinetron-sinetron lepas dan video dokumenter yang dikemas dalam CD kemudian ditayangkan dalam acara-acara sederhana. Untuk hadir di televisi memang masih memerlukan perjuangan panjang, kendati di Padang dan Bukittinggi sudah berdiri stasiun televisi lokal.

Langkah maju ke industri film juga masih tersendat. Mendirikan perusahaan yang bergerak di bidang perfilman belum lagi jadi pilihan pengusaha daerah. Undang-Undang Perfilman No. 8/1992 dan PP No. 6/1994 yang dianggap sebagai pembunuh kreativitas insan perfilman, sekalipun tidak lagi efektif, tetap jadi hantu karena bagi pemilik modal karena belum dicabut. Undang-undang dan peraturan produk Orde Baru ini merupakan manifestasi kezaliman sebuah rejim terhadap kebebasan berkreasi dan berusaha di sektor perfilman karena menetapkan berbagai aturan dan larangan yang seolah-olah meletakkan sebelah kaki para sineas selalu dalam penjara. Di sisi lain, Undang-undang dan peraturan ini seakan meletakkan para pengusaha di pintu lembaga-lembaga Pemerintah yang diduduki para koruptor, sehingga para pengusaha setiap saat dicekik oleh ongkos perizinan dan biaya-biaya ekstra yang memangkas laba usaha sebelum produksi berjalan.

Tanpa pencabutan UU No.8/1992 dan PP No.6/1994, kreativitas seniman daerah mungkin tetap dapat berjalan, tapi pasti sangat tersendat-sendat. Sejauh ini tampaknya Pemerintah RI masih belum punya goodwill yang cukup tinggi untuk mencabut dan menggantinya dengan aturan yuridis yang lebih memerdekakan industri perfilman. Usulan-usulan perubahan yang dikemukakan insan perfilman masih terlihat seperti buih di tengah lautan. Padahal, kalau industri perfilman telah merdeka dari cengkraman aturan yang represif pengusaha Sumatera Barat yang bermodal kecil sekalipun akan dapat masuk ke industri sinetron dalam skala usaha rumah tangga. Artinya, di alam kemerdekaan membuat film para seniman daerah tidak perlu menunggu investor luar bermodal puluhan miliar. Dengan modal Rp 150 juta saja seorang pengusaha sudah dapat memulai kegiatannya. Menurut kebiasaan, investor kakap akan melirik dengan sendirinya bila telah mencium adanya keuntungan di balik kegairahan masyarakat berproduksi.

Di tingkat lokal keinginan pemerintah di daerah, dalam hal ini Pemerintah Provinsi, Kabupaten/kota di Sumatera Barat, untuk mendesak Pemerintah RI agar melonggarkan tekanan terhadap industri film dan agar lebih memperhatikan perfilman daerah belum tampak sama sekali. Hal ini mungkin disebabkan selama ini persentuhan Sumatera Barat dengan dunia film baru sebatas menonton dan ikut-ikutan jadi pemain kalau ada yang datang untuk shooting. Agaknya pula pemerintah di Sumatera Barat belum sepenuhnya memperhatikan pergeseran-pergeseran dalam paradigma industri, dimana industri media audio visual makin memperlihatkan kekuatannya sebagai penyedia lapangan kerja, pendidikan masyarakat, bahkan penghasil devisa.

Oleh sebab itu, keterlibatan institusi pemerintah di Sumatera Barat, mulai dari tingkat provinsi sampai kabupaten, termasuk juga kalangan wakil rakyat di DPRD dalam memperjuangkan kebebasan industri film sangat diharapkan. Pemerintah RI harus didesak terus agar membiarkan industri perfilman daerah tumbuh secara alamiah tanpa dibebani berbagai kewajiban politik, ekonomi dan administratif yang sukar dipenuhi oleh pengusaha daerah. Bukankah di daerah seperti Sumatera Barat umumnya golongan pengusaha baru berada pada kelas kecil dan menengah?

Dengan adanya atmosfir kebebasan, kita berharap, suatu saat nanti citra ‘tidak melek film’ tidak lagi melekat pada diri seniman Sumatera Barat. Untuk itu harus ada upaya ekstra keras membangun citra sebagai sineas yang ulet, kreatif, tidak manja, dan tidak dibesarkan oleh fasilitas.

Sekian.



[1] Disampaikan dalam seminar perfilman tgl 10 Juli 2007.

[2] Pengamat film di daerah, sehari-hari bekerja sebagai dosen

"DITUNGGU DOGOT" cerpen Sapardi Djoko Damono, sutradara Kurniasih Zaitun

Konsep Garapan

Ditunggu Dogot adalah sebuah cerpen Sapardi Djoko Damono. “Teks” cerpen ini kemudian ditafsirkan dan diwujudkan dalam bentuk pertunjukan teater. Cerpen ini mengisahkan perjalanan dua orang tokoh, laki-laki dan perempuan yang sedang ditunggu Dogot. Selama perjalanan Ditunggu Dogot mereka mengalami berbagai persoalan, konflik dan perdebatan mereka tentang Dogot, sedangkan Dogot itu sendiri tidak jelas identitas dan asal usulnya.

Dapat dilihat disini bahwa Sapardi sangat terinspirasi oleh Menunggu Godot karya Samuel Beckett. Sapardi mencoba melihat bagaimana persoalan “menunggu” tidak akan lengkap jika tidak ada “ditunggu”, dan Sapardi percaya bahwa hidup ini berpasang-pasangan. Hal ini terlihat pada dialog-dialog yang muncul dalam cerpen tersebut, termasuk cara Sapardi dalam melukiskan persoalan dan konflik yang membangun inti cerpen tersebut.

Konsep panggung yang ditawarkan adalah stage on stage (panggung di atas panggung) yang menghadirkan panggung bergerak (berputar) untuk mnenawarkan konsep un-blocking (perpindahan aktor lebih ditentukan oleh pergerakan panggung). Sedangkan posisi penonton diarahkan ke dalam bentuk prosenium dan tapal kuda/arena, dengan tujuan lebih memudahkan penonton untuk mengapresiasi pentas itu sendiri. Untuk memperkuat karakter pertunjukan dan artistik panggung, pementasan ini juga menggunakan multimedia yang dilahirkan melalui layar yang menjadi latar belakang panggung.

Konsep pertunjukan Ditunggu Dogot, berangkat dari ide dasar randai, dengan menjadikan unsur galombang dan pelaku galombang sebagai penentu, yakni penentu pergantian waktu, tempat dan adegan. Fungsi pelaku galombang dalam pertunjukan ini sangat ditentukan oleh perputaran panggung; pada saat perputaran dilakukan, pelaku galombang menjadi aktor pertunjukan, dan ketika tidak terjadi lagi perputaran, sang pelaku galombang memfungsikan diri sebagai bagian dari penonton.

Sinopsis

Perjalanan dua orang tokoh, laki-laki dan perempuan yang sedang ditunggu Dogot. Selama perjalanan Ditunggu Dogot mereka mengalami berbagai persoalan, konflik dan perdebatan mereka tentang Dogot, sedangkan Dogot itu sendiri tidak jelas identitas dan asala usulnya.

Semua yang ada dimuka bumi ini diciptakan berpasang-pasangan. Jauh dekat, tinggi rendah, langit bumi, laki-laki perempuan, menunggu ditunggu. Perjalanan hidup manusia yang tak pernah bisa ditebak “apa”, tapi dapat dirasakan, dijalani dan dinikmati.

Sampai jumpa dan tabik,
Evi Widya Putri
Komunitas Seni HITAM-PUTIH

TANGGA: DEMOKRASI APAKAH?

Oleh: Sahrul N

dengarlah, kusampaikan padamu sebaris kisah

di sebuah gunung merapi yang dulu sebesar telur itik, lama setelahnya, dari dua lelaki seibu

berbeda ayah lahirlah sistem bernama laras

dua lelaki yang berbeda pikiran, orang menyebutnya koto piliang dan bodi caniago

berjenjang naik, bertangga turun dan duduk sehamparan, tegak sepematang

bagai lukisan perdamaian

Dialog demokrasi tak bernama inilah yang diusung dalam pementasan teater yang berjudul “Tangga” sutradara Yusril dari Komunitas Seni Hitam Putih Padangpanjang Sumatra Barat. Pementasan yang berdurasi sekitar satu jam ini ditampilkan di STSI Padangpanjang tanggal 21 Juli 2007 dan di Taman Budaya Sumatra Barat pada tanggal 27 Juli 2007. Karya seni teater ini terinspirasi dari dua karya sebelumnya yaitu puisi “Tangga” karya Iyut Fitra dan naskah drama “Jenjang” karya Prel T.

Berjenjang naik, bertangga turun, merupakan sistem pemerintahan di Minangkabau yang dicanangkan oleh Datuk Katumanggungan atau yang lebih dikenal dengan kelarasan Koto Piliang. Sistem ini memakai pola top down atau segala sesuatunya ditentukan oleh pemimpin kekuasaan. Seperti dialgog “hitam kataku hitam, putih kataku putih”. Suau keputusan yang tidak lagi bisa diganggu gugat.

Berbeda halnya dengan kata-kata Duduk sehamparan, tegak sepematang, yang merupakan kata-kata dalam sistem pemerintahan di Minangkabau yang dicanangkan oleh Datuk Perpatih Nan Sabatang atau yang lebih dikenal dengan kelarasan Bodi Caniago. Sistem ini memakai pola segala sesuatunya ditentukan oleh musyawarah dan mufakat.

Kedua sistem ini tumbuh dan berjalan dalam waktu yang sama dari dulu sampai sekarang. Masyarakat Minangkabau tidak mempersoalkan perbedaan diantara keduanya, tetapi mengkolaborasikan keduanya atau berjalan beriringan dan saling membantu. Dua sistem yang bertolak belakang namun saling membantu menimbulkan pertanyaan, demokrasi apakah yang yakini oleh masyarakat Minangkabau?

Kolaborasi sistem pemerintahan ini diwujudkan dalam bentuk teater kontemporer dengan konsep akting distorsi dimana tubuh tidak lagi menjadi tubuh yang sebenarnya. Tubuh aktor adalah tubuh tanpa jenis kelamin, dia bisa menjadi tubuh sosial, tubuh budaya, tubuh akrobatik, tubuh tak terhingga dan tubuh ikonitas. Tubuh ini menciptakan ruang makna yang beragam dalam diri masing-masing aktor. Keinginan untuk setiap bagian tubuh bicara banyak makna merupakan hal yang sangat menentukan. Namun sayang, dialog puitis yang menjadi arah peristiwa kadang-kadang diucapkan oleh aktor tanpa tendensi makna, sehingga kata tersebut berlalu begitu saja.

Lewat bantuan properti tangga yang jumlahnya sebanyak jumlah aktor (delapan), pencarian ekspresi tidak dalam bentuk datar namun meruang ke segala arah. Lantai pentas bisa ada dimana-mana, tidak hanya horizontal namun juga vertikal. Properti dari kayu ini menciptakan ruang makna yang tak terhingga dan diekplorasi sedemikian rupa menjadi ikon-ikon yang menupang ikon-ikon tubuh aktor. Tangga bisa menjadi pentas itu sendiri, bisa juga menjadi penjara, menara, pembatas, jembatan, beban, keranda, dan sebagainya. Akan tetapi pencarian eksplorasi properti ini pada bagian-bagian tertentu bisa menjadi verbal dan tanpa ikonitas.

Begitu juga dengan peristiwa yang diambil dari mitos Minangkabau ini hanya sebagai alat untuk mengungkap sesuatu yang lebih universal. Peristiwa demokrasi tanpa judul ini diaktualisakan dengan demokrasi secara menyeluruh yang ada di bumi ini. Peristiwa perang dengan segala akibatnya dan penjajahan peradaban oleh negara maju terhadap negara berkembang dan terbelakang, menjadi sorotan kemanusiaan karya ini. Bisa dilihat dalam dialog “di timur matahari akan terbit” bisa menjadi indikasi bahwa ada perlawanan keras terhadap hegemoni barat.

Ikon-ikon Minangkabau menjadi referensi penting dalam pertunjukan ini. Gerakan silat, bahasa, carano (tempat sirih) dan lain-lain dalam seluruh peristiwa adalah ikatan tematik yang coba dipertahankan oleh sutradara dalam rangka memadukan struktur. Boleh saja bicara lokal, namun makna yang ingin disampaikan tidak lagi lokal. Hal ini merupakan upaya untuk pencarian makna yang melampaui realitas.

Pembesaran makna dari peristiwa mitologi Minangkabau ini, kadangkala membuyarkan identitas persoalan yang sebenarnya. Klip-klip peristiwa memang diusahakan semaksimal mungkin memiliki hubungan struktur yang padu, akan tetapi sering pula terputus. Atau memang ini yang diinginkan Yusril? Sesuatu yang seluruhnya distorsi?

Sahrul N adalah dosen Jurusan Teater STSI Padangpanjang

Profil komunitas seni HITAM-PUTIH Padangpanjang-Sumatera Barat

Bermula di Institut Nasional Syafe’i (INS) Kayutanam pada tahun 1993 dengan nama kelompok yaitu Teater Plus INS Kayutanam. Pendidikan di INS Kayutanam, disamping belajar intrakurikuler, siswa juga diajarkan tentang Minat dan Bakat yang disebut kegiatan ekstrakurikuler termasuk di dalamnya teater. Teater Plus yang menjadi embrio komunitas seni HITAM-PUTIH pimpinan Yusril, kemudian hadir dalam percaturan dan dinamika teater di Sumatera bahkan nasional melalui pertunjukan teater seperti OBT (orang-orang bawah tanah) tahun 1993, Perguruan tahun 1995 di TIM Jakarta, Ring 1996 di taman Budaya Padang, Interne di taman Budaya Bengkulu 1996, Menunggu dalam event Temu Sasterawan Nusantra ke IX dan temu teater Indonesia di Pekan Baru, Hamba-Hamba dalam event yang sama sasterwan Nusantara ke IX.
Pada tanggal 5 September 1998, Teater Plus INS Kayu Tanam berubah nama menjadi komunitas seni HITAM-PUTIH. Ketika persiapan pentas Menunggu di Taman Budaya Jambi. Semenjak itu, komunitas seni HITAM-PUTIH, dikukuhkan sebagai salah satu kelompok independen yang bergerak dalam dunia teater di Sumatera Barat dengan motto yang menjadi komitmen komunitas yaitu : Sebuah keinginan untuk berjelas-jelas Untuk tidak menghitamkan yang putih Dan memutihkan yang hitam.
Semenjak tahun 1998 sampai dengan sekarang, komunitas seni HITAM-PUTIH hadir dalam setiap event lokal maupun nasional, seperti Pentas Monolog Dewan Kesenian Jakarta, Pentas teater dalam event Pusat Bahasa Jakarta, Pentas Seni Dewan Kesenian Sumatera Barat, Jakarta Art Festival (JakArt), Pekan Apresiasi Teater (PAT), Hibah Seni karya Inovatif Yayasan Kelola Jakarta dan lain-lain.
Tahun 2003, merupakan awal komunitas seni HITAM-PUTIH melakukan kerja sama dalam pemutaran film dengan pihak Jiffest dan sreenDoc! Traveling. Dua kelompok ini telah mempercayakan kepada komunitas seni HITAM-PUTIH sebagai Local Partner dalam setiap pelaksanaan pemutaran film dari tahun 2003, sampai sekarang. Tahun 2008 komunitas seni HITAM-PUTIH kembali dipercaya untuk menjadi Local Partner dalam Roadshow eagle awards & screenDocs! Traveling.
Semenjak konsentrasi komunitas seni HITAM-PUTIH bergerak dalam dua program yaitu teater dan film. Maka seluruh anggota yang berada dalam komunitas sepakat bahwa komunitas seni HITAM-PUTIH sebagai theatre and film community (komunitas yang bergerak dalam dunia teater dan film).

AGENDA KOMUNITAS SENI HITAM-PUTIH 1993-2008


TEATER

No

JUDUL

KARYA

SUTRADARA

TEMPAT

1

Eksplorasi Amuk

Sutardji

Yusril

Padang

2

Orang-orang bawah Tanah

Wisran Hadi

Yusril

1. RRI Padang

2. Taman Budaya Bengku

3. Taman Budaya Pekanbaru

4. Taman Budaya Jambi

5. Taman Budaya Sumatera Barat

6. Jambore Teater Nasional jawa Timur

2

Ring

Wisran Hadi

Yusril

1. INS kayutanam

2. Dang Merdu Pekanbaru

3

Perguruan

Wisran Hadi

Yusril

Taman Ismail (TIM)

Jakarta

4

Hamba-Hamba 1

Prell.T

Yusril

1. INS kayutanam

2. Taman Budaya Pekanbaru

3. STSI Padangpanjang

5

Wanted

Yusril

Yusril

INS kayutanam

6

Gerak Musik Alami

Bery Benhard

Yusril

Bery Benhard

Yusril

Taman Budaya Sumatera Barat

7

Ekplorasi Sembilu Darah

Papa Rusli

Yusril

Fa Fak. Sastra Bung Hatta – Padang

8

Interne

Yusril

Yusril

INS Kayutanam

9

RAKER

Yusril

Yusril

1. INS kayutanam

2. Taman Budaya Sumbar

10

Menunggu

Yusril

Yusril

1. INS Kayutanam

2. Taman Budaya Pekan Baru

3. Taman Budaya Sumatera Barat

4. Taman Budaya Jambi

5. Teater Utan Kayu Jakarta

6. Institut Kesenian Jakarta

11

Diujung Tanduk

Deni Marjunis

Yusril

1. STSI Padangpanjang

2. SMKI Padang

3. Fak. Sastra UNAND

13

Kolaborasi Cindua Mato

Yusril

Susasrita Lora Vianti

Yusril

Jogyakarta

14

Kronis

Yusril

Yusril

Taman Budaya Bengkulu

15

Kamar

Kolaborasi

Yusril

1. Taman Budaya Padang

2. Taman Budaya Jambi

16

Embrio

Yusril

Yusril

1. STSI Padangpanjang

2. Bung Hatta Padang

17

Topeng

Yusril

Yusril

Taman Budaya Bengkulu

18

Performing Art Indonesia Darahku Tumpah

Yusril

Yusril

Payakumbuh

19

Welcome To Milenium

Yusril

Yusril

STSI Padangpanjang

20

Pintu

Yusril

Yusril

Taman Budaya Sumatera Barat

21

Kolaborasi Selamat Datang

Yusril

Agus Joly

Yusril

Agus Joly

Taman Ismail Marzuki Jakarta

22

Aksioma

Topan S Candra

Yusril

1. Taman Ismail Marzuki Jakarta

2. Bandung

3. Cirebon

4. Tegal

5. Purwokerto

6. Semarang

7. Kudus

8. Magelang

9. Jogyakarta

10. Solo

11. Surabaya

12. Malang

13. Pamuteran

14. Singaraja

15. Tambanan

16. Nusa dua Bali

23

Pengantin darah

Slamed widodo

Yusril

1. Kebun Nanas Jakarta

2. Bentara Budaya Jakarta

24

Tak Ada Minggu Sampai Sabtu, Hanya Siang Dan Malam

Rozzaky

Yusril

1. STSI Padangpanjang

2. Fak. Sastra Unand

3. INTRO Payakumbuh

4. Rawamangun Jakarta

5. Taman Buadaya Sumatera Barat

6. Rumah Hitam-BATAM

25

Komplikasi

Yusril

Kurniaisih Zaitun

Unand Padang

27

Malam Terakhir

Yokio Mishima

Kurniaisih Zaitun

STSI Padangpanjang

28

The Song Of The Death

Yusril

Kurniaisih Zaitun

STSI Padangpanjang

29

Cleopatra

Shakespiere

Kurniaisih Zaitun

STSI Padangpanjang

30

Kura Kura Bekicot

Eugene Ionesco

Kurniaisih Zaitun

STSI Padangpanjang

31

Cermin

N. Riantiarno

Kurniaisih Zaitun

Taman Budaya Padang

32

Ditunggu Dogot

Sapardi Djoko Damono

Kurniaisih Zaitun

1. STSI Padangpanjang

2. Taman Budaya Padang

3. Bandar Serai Pekanbaru

33

Eforia Malin

Afrizal Harun

Afrizal Harun

STSI Padangpanjang

34

Wek-wek

Anton.P.

Chekov

Afrizal Harun

STSI Padangpanjang

35

Macbett

Eugene Ionesco

Afrizal Harun

STSI Padangpanjang

36

Hanya Satu Kali

Jhon Galsworthy

Afrizal Harun

1. STSI Padangpanjang

2. TVRI Padang

37

Kotaku Rumahku

Paul Maar

Afrizal Harun

STSI Padangpanjang

38

Dunia dalam Mesin Jahit

Afrizal Harun

Afrizal harun

Rawa Mangun Jakarta Selatan dan event JakArt

39

Zona X(nyanyian negeri sunyi)

Afrizal Harun

Afrizal harun

STSI Padangpanjang dan Taman Budaya Sumatera Barat (tahun 2008)

40

Tangga

Yusril

Yusril

1. STSI Padangpanjang

2. T.Budaya Sumatera Barat

3. ISI Denpasar-Bali

41

Sepatu

Yusril

Yusril

Taman Budaya Sumatera Barat

FILM

1

Sedikit Sekali waktu Untuk Cinta (Film Pendek)

Scenario : Yusril

Yusril

2

Wartel (Film Pendek)

Scenario : Iyut Fitra

Yusril

3

Black File (Film Tari)

Scenario : Yusril

Yusril

4

Musim Kematian Bunga (Film Puisi)

Scenario : Iyut Fitra

Yusril

5

Bulan Dilangit Jam gadang

Scenario : Edi Suisno

Yusril

6

Si SaP

Scenario : Yusril

Yusril

KEGIATAN FILM WORKSHOP DAN PEMUTARAN

2005. Pemutaran Film bermutu JIFFEST

2006. Traveling Pemutaran FILM Jiffest dan Indoc

2006. Pendek dan Bagus Pemutan film Goothe Institute

2006. 8th Jiffest Script Development Workshop 2006

2006. Workshop scenario Film Direktorat Film Indonesia

2007. pemutaran Film pendek screendoc roadshow traveling

2008. pemutaran Film Screendoc dan Eagle Award